Sabtu, 19 Februari 2011

HAPUSNYA PERIKATAN

Hapusnya Perikatan

Bab IV Buku III KUH Perdata mengatur tentang hapusnya perikatan baik yang timbul dari persetujuan maupun dari undang-undang yaitu dalam pasal 1381 KUH Perdata. Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa ada delapan cara hapusnya perikatan yaitu :

1. Pembayaran

2. Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.

3. Pembaharuan utang (inovatie)

4. Perjumpaan utang (kompensasi)

5. Percampuran utang.

6. Pembebasan utang.

7. Musnahnya barang yang terutang

8. Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.

Adapun dua cara lainnya yang tidak diatur dalam Bab IV Buku III

KUH Perdata adalah : Syarat yang membatalkan (diatur dalam Bab I). Kedaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).Jadi dalam KUH Perdata ada sepuluh cara yang mengatur tentang hapusnya perikatan.

1. Pembayaran

Yang dimaksud oleh undang-undang dengan perkataan ”pembayaran” ialah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara sukarela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi. Jadi perkataan pembayaran itu oleh undang-undang tidak melulu ditujukan pada penyerahan uang saja tetapi penyerahan tiap barang menurut perjanjian, dinamakan pembayaran. Bahkan si pekerja yang melakukan pekerjaannya untuk majikannya dikatakan ”membayar”.

Ada beberapa hal yang harus diketahui mengenai pembayaran

yaitu :

a) Siapa yang harus melakukan pembayaran. Perikatan selain dapat dibayar oleh debitur, juga oleh setiap orang, baik ia berkepentingan atau tidak. Menurut ketentuan KUH Perdata pasal 1382 ayat 1 bahwa perikatan dapat dibayar oleh yang berkepentingan seperti orang yang turut berutang atau seorang penanggung utang dan menurut ayat duanya bahwa pihak ketiga yang tidak berkepntingan dalam melakukan pembayaran dapat bertindak atas nama si berutang atau atas nama sendiri. Dalam hal pembayaran dilakukan atas nama si berutang berarti pembayaran dilakukan oleh si berutang sendiri, sedangkan pembayaran yang dilakukan atas nama sendiri berarti pihak ketigalah yang membayarnya. Kesimpulannya adalah pihak yang berwajib membayar yaitu :

- Debitur

Pasal 1382 KUH Perdata mengatur tentang orang-orang selain dari debitur sendiri. Mereka yang mempunyai kepentingan, misalnya kawan berutang (mede schuldenaar) dan seorang penanggung (borg).

- Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi 16 utangnya debitur atau pihak ketiga itu bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak kreditur.

b) Syarat untuk debitur yang membayar.

Pada suatu perjanjian penyerahan hak milik menurut pasal 1384 KUH Perdata maka agar penyerahan itu sah diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :

- Orang yang membayarkan harus pemilik mutlak dari benda yang diserahkan

Orang yang menyerahkan berkuasa memindahtangankan benda tersebut. Apabila yang menyerahkan bukan pemilik benda yang bersangkutan, maka kedua belah pihak dapat menyangkal pembayaran tersebut. Pihak yang menyerahkan dapat menuntut kembali apa yang dibayarkan dan kreditur dapat menuntut penyerahan banda yang benar-benar milik debitur. Namun demikian walaupun penyerahan benda dilakukan oleh orang yang bukan pemilik, dan bendanya adalah berwujud uang atau benda yang sifatnya dapat dihabiskan, maka terhadap apa yang telah dibayarkan itu tidak dapat dituntun kembali oleh debitur, apabila kreditur dengan itikad baik telah menghabiskan benda tersebut (Pasal 1384 KUH Perdata). Kepada siapa pembayaran harus dilakukan Pembayaran menurut ketentuan dalam Pasal 1385 KUH Perdata harus dilakukan kepada :

- Kreditur. pertama-tama adalah kreditur yang berhak untuk menerima prestasi. Adakalanya prestasi khusus harus disampaikan atau ditujukan kepada kreditur, seperti pengobatan atau jika hal tersebut diperjanjikan. Pasal 1387 KUH Perdata menentukan bahwa pembayaran kepada kreditur yang tidak cakap untuk menerimanya adalah tidak sah, kecuali jika debitur membuktikan bahwa kreditur telah memperoleh manfaat daripada pembayaran tersebut. Jika kreditur tidak cakap (onbekwaam), maka pembayaran harus dilakukan kepada wakilnya menurut undang-undang. Dalam hal ia tidak mempunyai wakil, debitur dapat menunda pembayaran, mengingat tdak adanya orang kepada siapa ia dapat melakukan pembayaran secara sah. Jelas yang dimaksud oleh Pasal 1387 KUH Perdata adalah pembayaran yang berupa melaksanakan suatu perbuatan hukum, dimana kreditur harus memberikan bantuannya, seperti penyerahan hak milik. Sebaliknya ketidakcakapan kreditur tidak mempunyai pengaruh, jika debitur tanpa bantuan kreditur dapat melaksanakan sendiri prestasinya. Jika untuk perbuatan ukum diisyaratkan bantuan kreditur, maka ketidakcakapan kreditur mengakibatkan pembayaran dapat dibatalkan.

-Orang yang dikuasakan oleh kreditur.

Pembayaran debitur kepada kuasa kreditur adalah sah. Debitur dapat memilih apakah ia akan membayar kepada kreditur atau kepada kuasanya. Jika kreditur menghendaki agar debitur membayar kepadanya, maka debitur harus memenuhinya, demikian juga jika kreditur menghendaki agar pembayaran dilakukan kepada kuasanya. Bagaimana halnya, jika debitur membayar kepada seseorang yang dianggap selaku kuasa dari kreditur, tetapi ternyata bukan? Pembayaran yang demikian itu adalah sah, jika dari sikap kreditur dapat dianggap bahwa orang tersebut mendapatkan kuasa dari kreditur.

- Orang yang dikuasakan oleh hakim atau undang-undang untuk menerima pembayaran tersebut. Wewenang yang diberikan oleh undang-undang untuk menerima pembayaran bagi kreditur adalah misalnya, curator. Pembayaran yang tidak ditujukan kepada kreditur atau kuasanya tidak sah, dan karenanya debitur masih berkewajiban untuk membayar utangnya. Dalam tiga hal pembayaran yang tidak ditujukan kepada kreditur atau kuasanya tetap dianggap sah, yaitu : (1) kreditur menyetujuinya, (2) kreditur endapatkan manfaat, (3) debitur membayar dengan itikad baik (Pasal 1386 KUH Perdata). Sekalipun ketentuan tersebut di atas bersifat umum, akan tetapi tidak berlaku bagi semua pembayaran yang tidak dilakukan kepada atau diterima oleh kreditur atau kuasanya. Contohnya, prestasi kepada pihak ketiga atau prestasi yang berupa untuk tidak berbuat sesuatu atau untuk melakukan suatu perbuatan hukum sepihak.

c) Obyek pembayaran

Apa yang harus dibayar adalah apa yang terutang. Kreditur boleh menolak jika ia dibayar dengan prestasi yang lain dari pada yang terutang, sekalipun nilainya sama atau melebihi nilai piutangnya. Pembayaran sebagian demi sebagaian dapat ditolak oleh kreditur. Undang-undang membedakan pembayaran atas :

- Utang barang species.

Debitur atas suatu barang pasti dan tertentu, dibebaskan jika ia memberikan barangnya dalam keadaan dimana barang itu berada pada waktu penyerahan, asal pengurangan barangnya antara saat terjadinya perikatan dan penyerahan tidak disebabkan oleh perbuatan atau kelalaian debitur, kesalahan atau kelalaian orang yang menjadi tanggungannya, debitur tidak lalai menyerahkan barangnya sebelum timbul kekurangan tersebut.

- Utang barang generik.

Debitur atas barang generik tidak harus menyerahkan barang yang paling baik atau yang paling buruk.

- Utang uang

Uang di sini harus diartikan sebagai alat pembayaran yang sah.

d) Tempat pembayaran

Pada asasnya pembayaran dilakukan di tempat yang diperjanjikan. Apabila di dalam perjanjian tidak ditentukan ”tempat pembayaran” maka pembayaran terjadi :

- Di tempat di mana barang tertentu berada sewaktu perjanjian

dibuat apabila perjanjian itu adalah mengenai barang tertentu.

- Di tempat kediaman kreditur, apabila kreditur secara tetap

bertempat tinggal di kabupaten tertentu.

- Di tempat debitur apabila kreditur tidak mempunyai kediaman

yang tetap. Bahwa tempat pembayaran yang dimaksud oleh pasal 1394 KUH Perdata adalah bagi perikatan untuk menyerahkan sesuatu benda bukan bagi perikatan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

e) Waktu dilakukannya pembayaran

Undang-undang tidak mengatur mengenai waktu pembayaran dan persetujuanlah yang menentukannya. Jika waktunya tidak ditentukan, maka pembayaran harus dilakukan dengan segera setelah perikatan terjadi.

f) Subrogasi

Penggantian kreditur dalam suatu perikatan sebagai akibat adanya pembayaran disebut subrogasi. Atau dengan kata lain subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga. Menurut Pasal 1400 KUH Perdata subrogasi terjadi karena adanya pembayaran oleh pihak ketiga kepada kreditur. Ketentuan ini sebenarnya tidak sesuai dengan terjadinya subrogasi tersebut dalam Pasal 1401 ayat 2 KUH Perdata, di mana yang membayar adalah debitur sekalipun untuk itu ia meminjamuang dari pihak ketiga. Pihak ketiga dapat saja merupakan pihak dalam perikatan, misalnya sama-sama menjadi debitur dalam perikatan tanggung renteng.

Dengan terjadinya subrogasi, maka piutang dengan hak-hak accessoirnya beralih pada pihak ketiga yang menggantikan kedudukan kreditur. menurut Pasal 1403 KUH Perdata subrogasi tidak dapat mengurangi hak-hak kreditur jika pihak ketiga hanya membayar sebagian dari piutangnya. Bahkan untuk sisa piutangnya itu kreditur semula masih dapat melaksanakan hak-haknya dan mempunyai hak untuk didahilukan daripada pihak keetiga tersebut. mengurangi hak-hak kreditur jika pihak ketiga hanya membayar sebagian dari piutangnya. Bahkan untuk sisa piutangnya itu kreditur semula masih dapat melaksanakan hak-haknya dan mempunyai hak untuk didahilukan daripada pihak ketiga tersebut. Subrogasi dapat pula terjadi jika debitur meminjam uang dari pihak ketiga untuk dibayarkan kepada kreditur, dengan janji bahwa pihak pihak ketiga akan menggantikan kedudukan kreditur tersebut. Untuk ini undang-undang menentukan syarat-syarat yaitu : (1) dibuat dua akta otentik, yaitu persetujuan meminjam uang dan tanda pelunasan utang, (2) mengenai isinya masing-masing akta tersebut harus memenuhi apa yang diatur dalam Pasal 1401 ayat 2 KUH Perdata. Pasal 1402 KUH Perdata menyebutkan empat cara terjadinya subrogasi berdasarkan undang-undang. Selain yang disebutkan dalam pasal tersebut di atas subrogasi dapat juga terjadi seperti tersebut dalam Pasal 1106, 1202 dan 1 840 KUH Perdata.21 Subrogasi dapat pula terjadi jika debitur meminjam uang dari pihak ketiga untuk dibayarkan kepada kreditur, dengan janji bahwa pihak pihak ketiga akan menggantikan kedudukan kreditur tersebut.

Untuk ini undang-undang menentukan syarat-syarat yaitu : (1) dibuat dua akta otentik, yaitu persetujuan meminjam uang dan tanda pelunasan utang, (2) mengenai isinya masing-masing akta tersebut harus memenuhi apa yang diatur dalam Pasal 1401 ayat 2 KUH Perdata.

Pasal 1402 KUH Perdata menyebutkan empat cara terjadinya subrogasi berdasarkan undang-undang. Selain yang disebutkan dalam pasal tersebut di atas subrogasi dapat juga terjadi seperti tersebut dalam Pasal 1106, 1202 dan 1840 KUH Perdata.

2. Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.

a. Penawaran pembayaran.

Undang-undang memberikan kemungkinan kepada debitur yang tidak dapat melunasi utangnya karena tidak mendapatkan bantuan dari kreditur, muntuk membayar utangnya dengan jalan penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan. Sebagai contoh : A harus menyerahkan sejumlah barang yang dibeli oleh B, akan tetapi karena harga barang tersebut turun, B tidak mau menerimanya dengan alasan gudangnya penuh. Untuk membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut A dapat menawarkan pembayaran diikuti dengan penitipan.

Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan hanya dimungkinkan pada perikatan untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan barang-barang bergerak. Ketentuan Pasal 1404 s/d 1412 KUH Perdata hanya mengatur mengenai pemberian barang-barang bergerak dan tidak berlaku bagi perikatan-perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk memberikan barang-barang tetap.

Perkataan tersebut dalam Pasal 1404 KUH Perdata yang berbunyi ”Jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan” menimbulkan kesan

22

seolah-olah penawaran pembayaran hanya dapat dilakukan setelah adanya penolakan dari kreditur. Ketentuan dalam pasal tersebut tidak mensyaratkan bahwa untuk sahnya penawaran pembayaran harus terlebih dahulu ada penolakan dari kreditur tetapi hanya mengemukakan bahwa dalam banyak hal penawaran pembayaran terjadi setelah adanya penolakan. Jadi penawaran dapat saja dilakukan sekalipun belum ada penolakan dari kreditur.

Pasal 1405 menentukan syarat-syarat untuk sahnya penawaran, yaitu :
1) Penawaran harus dilakukan kepada kreditur atau kuasanya,
2) Dilakukan oleh orang yang berwenang untuk membayar,

3) Penawaran harus meliputi :
- seluruh uang pokok
- bunga
- biaya yang telah ditetapkan
- uang untuk biaya yang belum ditetapkan

ketentuan ini khusus untuk utang uang, sedangkan jika utang barang yang tak tergolong dalam Pasal 1412, maka point 3 ini dapat diterapkan secara analogis.

4) Ketetapan waktunya telah tiba, jika dibuat untuk kepentingan

kreditur,

5) Syarat dengan mana utang telah dibuat, telah dipenuhi. Yang

dimaksud disini adalah perikatan dengan syarat yang menunda,

6) Penawaran harus dilakukan ditempat, di mana menurut persetujuan pembayaran harus dilakukan, jika tidak ada persetujuan khusus maka penawaran harus ditujukan kepada kreditur pribadi atau tempat tinggal sesungguhnya atau tempat tinggal yang telah dipilih kreditur,

7) Penawaran itu dilakukan oleh seorang notaris atau juru sita, kedua-

duanya disertai dua orang saksi.

Dengan diterimanya penawaran pembayaran maka telah terjadi

pembayaran.

23

b. Penitipan

Apabila penawaran pembayaran tidak diterima, debitur dapat

menitipkan apa yang ia tawarkan.

Untuk sahnya penitipan, Pasal 1406 KUH Perdata menentukan

beberapa syarat, yaitu :

1) sebelum penitipan kreditur harus diberitahukan tentang hari, jam

dan tempat di mana barang yang ditawarkan akan disimpan.

2) debitur telah melepaskan barang yang ditawarkan, dengan menitipkannya kepada kas penyimpanan atau penitipan di kepaniteraan Pengadilan, yang akan mengadilinya jika terjadi perselisihan disertai bunga sampai pada hari penitipan.

3) oleh notaris atau juru sita, kedua-duanya disertai dua orang saksi dibuat sepucuk surat pemberitaan yang menerangkan wujudnya mata uang yang ditawarkan, penolakan kreditur atau bahwa ia tidak datang untuk menerimanya da akhirnya tentang penyimpanannya itu sendiri.

Pasal 1412 KUH Perdata memberikan ketentuan khusus untuk hal jika barang yang harus diserahkan di tempat di mana barang tersebut berada. Dalam hal ini debitur tidak perlu menawarkan pembayaran, ia dapat memperingatkan kreditur dengan perantaraan pengadilan. Peringatan tersebut harus dilakukan dengan suatu akta dan diberitahukan kepada kreditur pribadi atau alamat tinggalnya, maupun alamat tempat tinggal yang dipilih untuk melaksanakan persetujuan.

Jika kreditur tetap tidak mengambil barangnya, maka debitur dapat

minta izin hakim untuk menitipkan barang tersebut di tempat lain.

c. Akibat dari penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan.

Penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan membebaskan debitur dan berlaku sebagai pembayaran. Pembebasan tersebut mengakibatkan :

24

- Debitur dapat menolak tuntutan pemenuhan prestasi, ganti rugi, atau pembatalan persetujuan timbal balik dari kreditur dengan mengemukakan adanya penawaran dan penitipan.

- Debitur tidak lagi berutang bunga sejak hari penitipan.

- Sejak penitipan kreditur menanggung resiko atas barangnya.

- Pada persetujuan timbal balik, debitur dapat menuntut prestasi

kepada kreditur.

3. Pembaharuan utang (inovatie)

a. Pengertian novasi.

Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.

Ada tiga macam novasi yaitu :

1) Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan

perikatan lain. Novasi obyektif dapat terjadi dengan :

- Mengganti atau mengubah isi daripada perikatan. /enggantian perikatan terjadi jika kewajiban debitur atas suatu prestasi tertentu diganti oleh prestasi lain. Misalnya kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu diganti dengan kewajiban untuk menyerahkan sesuatu barang tertentu.

- Mengubah sebab daripada perikatan. Misalnya ganti rugi atas

dasar perbuatan melawan hukum diubah menjadi utang piutang

2) Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain. Pada novasi subyektif pasif dapat terjadi dua cara penggantian debitur, yaitu :

- Expromissie, dimana debitur semula digati oleh debitur baru, tanpa bantuan debitur semula. Contoh : A (debitur) berutang kepada B (kreditur). B (kreditur) membuat persetujuan dengan C (debitur baru) bahwa C akan menggantikan kedudukan A selaku debitur dan A akan dibebaskan oleh B dari utangnya.

Subrogasi dapat pula terjadi jika debitur meminjam uang dari pihak ketiga untuk dibayarkan kepada kreditur, dengan janji bahwa pihak pihak ketiga akan menggantikan kedudukan kreditur tersebut. Untuk ini undang-undang menentukan syarat-syarat yaitu : (1) dibuat dua akta otentik, yaitu persetujuan meminjam uang dan tanda pelunasan utang, (2) mengenai isinya masing-masing akta tersebut harus memenuhi apa yang diatur dalam Pasal 1401 ayat 2 KUH Perdata. Pasal 1402 KUH Perdata menyebutkan empat cara terjadinya subrogasi berdasarkan undang-undang. Selain yang disebutkan dalam pasal tersebut di atas subrogasi dapat juga terjadi seperti tersebut dalam Pasal 1106, 1202 dan 1840 KUH Perdata.

2. Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.

a. Penawaran pembayaran.

Undang-undang memberikan kemungkinan kepada debitur yang tidak dapat melunasi utangnya karena tidak mendapatkan bantuan dari kreditur, muntuk membayar utangnya dengan jalan penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan. Sebagai contoh : A harus menyerahkan sejumlah barang yang dibeli oleh B, akan tetapi karena harga barang tersebut turun, B tidak mau menerimanya dengan alasan gudangnya penuh. Untuk membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut A dapat menawarkan pembayaran diikuti dengan penitipan. Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan hanya dimungkinkan pada perikatan untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan barang-barang bergerak. Ketentuan Pasal 1404 s/d 1412 KUH Perdata hanya mengatur mengenai pemberian barang-barang bergerak dan tidak berlaku bagi perikatan-perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk memberikan barang-barang tetap. Perkataan tersebut dalam Pasal 1404 KUH Perdata yang berbunyi ”Jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan” menimbulkan kesan seolah-olah penawaran pembayaran hanya dapat dilakukan setelah adanya penolakan dari kreditur. Ketentuan dalam pasal tersebut tidak mensyaratkan bahwa untuk sahnya penawaran pembayaran harus terlebih dahulu ada penolakan dari kreditur tetapi hanya mengemukakan bahwa dalam banyak hal penawaran pembayaran terjadi setelah adanya penolakan. Jadi penawaran dapat saja dilakukan sekalipun belum ada penolakan dari kreditur.

Pasal 1405 menentukan syarat-syarat untuk sahnya penawaran, yaitu :
1) Penawaran harus dilakukan kepada kreditur atau kuasanya,
2) Dilakukan oleh orang yang berwenang untuk membayar,

3) Penawaran harus meliputi :
- seluruh uang pokok
- bunga
- biaya yang telah ditetapkan
- uang untuk biaya yang belum ditetapkan

ketentuan ini khusus untuk utang uang, sedangkan jika utang barang yang tak tergolong dalam Pasal 1412, maka point 3 ini dapat diterapkan secara analogis.

4) Ketetapan waktunya telah tiba, jika dibuat untuk kepentingan kreditur,

5) Syarat dengan mana utang telah dibuat, telah dipenuhi. Yang dimaksud disini adalah perikatan dengan syarat yang menunda,

6) Penawaran harus dilakukan ditempat, di mana menurut persetujuan pembayaran harus dilakukan, jika tidak ada persetujuan khusus maka penawaran harus ditujukan kepada kreditur pribadi atau tempat tinggal sesungguhnya atau tempat tinggal yang telah dipilih kreditur,

7) Penawaran itu dilakukan oleh seorang notaris atau juru sita, kedua- duanya disertai dua orang saksi. Dengan diterimanya penawaran pembayaran maka telah terjadi pembayaran.

b. Penitipan

Apabila penawaran pembayaran tidak diterima, debitur dapat menitipkan apa yang ia tawarkan.

Untuk sahnya penitipan, Pasal 1406 KUH Perdata menentukan beberapa syarat, yaitu :

1) sebelum penitipan kreditur harus diberitahukan tentang hari, jam

dan tempat di mana barang yang ditawarkan akan disimpan.

2) debitur telah melepaskan barang yang ditawarkan, dengan menitipkannya kepada kas penyimpanan atau penitipan di kepaniteraan Pengadilan, yang akan mengadilinya jika terjadi perselisihan disertai bunga sampai pada hari penitipan.

3) oleh notaris atau juru sita, kedua-duanya disertai dua orang saksi dibuat sepucuk surat pemberitaan yang menerangkan wujudnya mata uang yang ditawarkan, penolakan kreditur atau bahwa ia tidak datang untuk menerimanya da akhirnya tentang penyimpanannya itu sendiri.

Pasal 1412 KUH KUH Perdata memberikan ketentuan khusus untuk hal jika barang yang harus diserahkan di tempat di mana barang tersebut berada. Dalam hal ini debitur tidak perlu menawarkan pembayaran, ia dapat memperingatkan kreditur dengan perantaraan pengadilan. Peringatan tersebut harus dilakukan dengan suatu akta dan diberitahukan kepada kreditur pribadi atau alamat tinggalnya, maupun alamat tempat tinggal yang dipilih untuk melaksanakan persetujuan. Jika kreditur tetap tidak mengambil barangnya, maka debitur dapat minta izin hakim untuk menitipkan barang tersebut di tempat lain.

c.Akibat dari penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan.

Penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan membebaskan debitur dan berlaku sebagai pembayaran. Pembebasan tersebut mengakibatkan :

- Debitur dapat menolak tuntutan pemenuhan prestasi, ganti rugi, atau pembatalan persetujuan timbal balik dari kreditur dengan mengemukakan adanya penawaran dan penitipan.

- Debitur tidak lagi berutang bunga sejak hari penitipan.

- Sejak penitipan kreditur menanggung resiko atas barangnya.

- Pada persetujuan timbal balik, debitur dapat menuntut prestasi

kepada kreditur.

3. Pembaharuan utang (inovatie)

a. Pengertian novasi.

Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.

Ada tiga macam novasi yaitu :

1) Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan

perikatan lain. Novasi obyektif dapat terjadi dengan :

- Mengganti atau mengubah isi daripada perikatan. /enggantian perikatan terjadi jika kewajiban debitur atas suatu prestasi tertentu diganti oleh prestasi lain. Misalnya kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu diganti dengan kewajiban untuk menyerahkan sesuatu barang tertentu.

- Mengubah sebab daripada perikatan. Misalnya ganti rugi atas

dasar perbuatan melawan hukum diubah menjadi utang piutang

2) Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain. Pada novasi subyektif pasif dapat terjadi dua cara penggantian debitur, yaitu :

- Expromissie, dimana debitur semula digati oleh debitur baru, tanpa bantuan debitur semula. Contoh : A (debitur) berutang kepada B (kreditur). B (kreditur) membuat persetujuan dengan C (debitur baru) bahwa C akan menggantikan kedudukan A selaku debitur dan A akan dibebaskan oleh B dari hutangnya.

- Delegatie, dimana terjadi persetujuan antara debitur , kreditur semula dan debitur baru. Tanpa persetujuan dari kreditur, debitur tidak dapat diganti dengan kreditur lainnya. Contoh : A (debitur lama) berutang kepada B (kreditur) dan kemudian A mengajukan C sebagai debitur baru kepada B. Anatar B dan C diadakan persetujuan bahwa C akan melakukan apa yang harus dipenuhi oleh A terhadap B dan A dibebaskan dari kewajibannya oleh B. Novasi subyektif aktif, dimana krediturnya diganti oleh kreditur lain. Novasi subyektif aktif selalu merupakan persetujuan segi tiga, karena debitur perlu mengikatkan dirinya dengan kreditur baru. Juga novasi dapat terjadi secara bersamaan penggantian baik kreditur maupun debitur (double novasi). Contoh : A berutang Rp. 10.000.000,- kepada B dan B berutang kepada C dalam jumlah yang sama. Dengan novasi dapat terjadi bahwa A menjadi berutang kepada C sedangkan A terhadap B dan B terhadap C dibebaskan dari kewajiban-kewajibannya.

Pasal 1414 KUH Perdata menentukan bahwa novasi hanya dapat terjadi antara orang-orang yang cakap untuk membuat perikatan. Penerapan secara hurufiah daripada ketentuan tersebut mengakibatkan bahwa inovasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perikatan adalah batal. Akan tetapi sebenarnya pasal tersebut hanya menunjuk kepada syarat umum tentang kecakapan untuk membuat perikatan.

Jadi jika orang yang melakukan novasi tidak cakap untuk membuat perikatan maka novasi tersebut dapat dibatalkan. Selanjutnya pasal 1415 KUH Perdata menentukan bahwa kehendak untuk mengadakan novasi harus tegas ternyata dari perbuatan hukumnya.

c. Akibat-akibat novasi

Menurut pasal 1418 bahwa setelah terjadi delegasi, kreditur tidak dapat menuntut debitur semula, jika debitur baru jatuh pailit. Berlainan halnya jika hak penuntutan itu dipertahankan dalam persetujuan atau jika pada waktu terjadi delegasi, debitur baru ternyata sudah pailit atau dalam keadaan terus-menerus merosot kekayaannya.

Jika telah terjadi novasi subyektif aktif, debitur tidak dapat mengajukan tangkisan-tangkisan terhadap kreditur baru yang ia dapat ajukan terhadap kreditur semula, sekalipun ia tidak mengetahui pada waktu terjadinya novasi akan adanya tangkisan-tangkisan tersebut (pasal 1419 KUH Perdata).

4. Perjumpaan utang (kompensasi)

Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
- Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.

- Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.

- Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.

5. Percampuran utang.

Yang dimaksud percampuran utang adalah percampuran kedudukan (kualitas) dari partai-partai yang mengadakan perjanjian, sehingga kualitas sebagai kreditur menjadi satu dengan kualitas dari debitur. Dalam hal ini demi hukum hapuslah perikatan yang semula ada di antara kedua belah pihak tersebut (Psal 1436 KUH Perdata).

Percampuran utang dapat terjadi karena kedudukan kreditur dan debitur bersatu dalam diri satu orang. Misalnya kreditur meninggal dan debiturnya merupakan satu-satunya ahli waris. Akibat dari percampuran utang adalah bahwa perikatan menjadi hapus, dan hapusnya perikatan menghapuskan pula borgtocht. Hapusnya borgtocht dengan pencampuran utang tidak menghapuskan utang pokok.

6. Pembebasan utang.

Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.

Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.

Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.

7. Musnahnya barang yang terutang

Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.

8. Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.

Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.

Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.

9.Syarat yang membatalkan (diatur dalam Bab I).

Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat itu.

10.Kedaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).

Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.

rumahnya kepada B dengan syarat hanya utuk digunakan sebagai tempat tinggal tidak digunakan untuk tempat usaha, dengan ancaman batal. Selang beberapa waktu setelah rumah tersebut disewa B, ternyata rumah tersebut digunakan sebagai tempat usaha sekalugus tempat tinggal. Dalam hal ini perikatan batal sejak digunakan rumah tersebut sebagai tempat usaha. Dalam situasi demikian perikatan tidaklah dipulihkan dalam keadaan semula seperti sebelum sewa menyewa (yaitu uang sewa dikembalikan dan rumah diterima kembali). Perjanjian sewa batal, sewa tidak perlu dikembalikan, sebab rumah tersebut pada dasarnya sudah memberikan manfaat bagi B yaitu manfaat tempat berteduh.

10. Kedaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7). Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.

Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam

lampau waktu, yaitu :

(1). Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut

acquisitive prescription”;

(2). Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan

dari

tuntutan, disebut ”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.

SUMBER :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar