Minggu, 29 Mei 2011

PERJANJIAN INTERNASIONAL SEBAGAI MODEL HUKUM BAGI PENGATURAN MASYARAKAT GLOBAL (Menuju Konvensi ASEAN Sebagai Upaya Harmonisasi Hukum)

PERJANJIAN INTERNASIONAL SEBAGAI MODEL HUKUM
BAGI PENGATURAN MASYARAKAT GLOBAL
(Menuju Konvensi ASEAN Sebagai Upaya Harmonisasi Hukum)
Oleh
EMAN SUPARMAN
Lektor Kepala Hukum Acara Perdata

Pertama, Menyongsong tibanya era mondialisasi perniagaan dimana batas-batas teritorial suatu negara semakin imajiner, setiap negara tidak terkecuali Indonesia harus menyiapkan berbagai instrumen guna mendukung lancarnya interaksi antar masyarakat dari berbagai kawasan. Sudah barang tentu perangkat norma sebagai salah satu instrumen untuk bidang hukum juga sangat mendesak untuk dipersiapkan secara baik. Hal itu demikian penting, oleh karena dalam
aktivitas perniagaan barang dan jasa yang menjadi ciri utama masyarakat global, jika muncul kasus-kasus sengketa komersial, maka para pelaku niaga menuntut penyelesaian yang serba cepat, tepat, dan sekaligus akurat.
Kedua, Mencermati kemungkinan-kemungkinan sebagaimana\digambarkan di atas, sudah tentu tuntutan dari masyarakat perniagaan adalah sesuatu yang tidak mungkin diabaikan oleh setiap pemerintah negara-negara. Dengan demikian upaya penataan atas berbagai lembaga dan pranata hukum guna menunjang kondisi di atas mendesak untuk dilakukan. Untuk kasus Indonesia. model penataan pranata hukum melalui metode kodifikasi yang selama ini dijalankan acapkali dituding sebagai terlalu lamban, sehingga perangkat kaidah hukum senantiasa tertinggal dari faktanya. Ada sejumlah alasan mengapa penataan kaidah hukum melalui kodifikasi itu demikian? Satu diantaranya adalah karena untuk menyusun satu Undang-undang memerlukan proses panjang dan biaya yang tidak sedikit. Padahal ketika Undang-undang tersebut diundangkan boleh jadi fakta dan tuntutan masyarakat yang dinamis itu sudah sangat berubah dan berbeda.
Ketiga, Atas dasar alasan di atas, bijaksana kiranya manakala model penataan dan pembinaan hukum yang seyogianya dilakukan pemerintah Indonesia tidak semata-mata mengandalkan model kodifikasi. Tindakan ratifikasi atas berbagai perjanjian internasional multilateral maupun pembuatan perjanjian bilateral dengan negara-negara sahabat adalah conditio sine qua non untuk lebih banyak dilakukan Indonesia dalam menyongsong masa-masa mendatang dengan
permasalahan yang semakin kompleks. Perjanjian internasional semacam itu di harapkan lebih akomodatif sebab biasanya substansinya telah secara spesifik mengatur suatu hal tertentu. Dengan demikian pada gilirannya kesepakatan semacam itu akan mampu meminimalisasikan berbagai kesenjangan.
Keempat, Pembuatan perjanjian internasional dengan negara-negara di kawasan ASEAN yang telah dirintis selama ini, agaknya perlu terus dilanjutkan oleh Indonesia. Di samping dalam rangka melakukan upaya harmonisasi kaidah kaidah hukum di antara negara-negara dengan sistem hukum yang berlainan, juga upaya ke arah mewujudkan suatu konvensi ASEAN dalam rangka menanggulangi masalah-masalah hukum bersama sehubungan dengan efektifnya kesepakatan AFTA mendatang. Seandainya model Konvensi ASEAN dapat diwujudkan, maka diharapkan dalam lingkup yang lebih luas juga dapat pula dilakukan. Menyiapkan pemenyusunan Konvensi APEC adalah upaya lain yang lebih luas, karena masalah yang akan muncul dalam kerangka interaksi di antara negara-negara yang berhimpun dalam kesepakatan Asia Pacific Economic Cooperation juga akan sangat kompleks.
Kelima, Apabila upaya-upaya penyeragaman pranata hukum lewat kesepakatan antara negara-negara dalam memecahkan berbagai masalah yang muncul dapat dilakukan melalui cara-cara di atas, maka kesenjangan penyelesaian sengketa disebabkan karena perbedaan sistem hukum, diharapkan akan dapat ditanggulangi. Pada gilirannya tindakan ratifikasi atas perjanjian internasional multilateral atau pembuatan perjanjian bilateral akan mampu menjadi instrumen harmonisasi hukum di antara negara-negara kendati berlainan sistem hukumnya.

MASALAH-MASALAH HUKUM DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

MASALAH-MASALAH HUKUM DALAM PELAKSANAAN
OTONOMI DAERAH
Oleh :
PROF.DR.SOLLY LUBIS, S.H.

Semenjak lahirnya Negara Kesatuan R.I. tahun 1945 Otonomi Daerah telah menjiwai ketatanegaraan Indonesia (ps. 18 UUD 1945). Bukti realitasnya beberapa UU tentang Pemerintahan Daerah berotonomi telah diterbitkan, menyusul dan berorientasi kepada perkembangan sosial politik yang terjadi di wilayah dan daerah-daerah di Indonesia dalam kurun waktu 5 (lima) dekade, yang terdiri dari:
- UU No. 1 Tahun 1945, tentang Komite Nasional Daerah,
- UU No. 22 Tahun 1948, Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daera h,
- UU No. 1 Tahun 1957, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
- UU No. 18 Tahun 1965, tantang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah,
- Tap MPRS No. XXI Tahun 1966, tentang pemberian otonomi seluas-luasnya Kepada Daerah, (tetapi tidak pernah ditindak lanjuti oleh rejim Orde Baru),
- UU No. 5 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah,
- Tap MPR No. XV Tahun 1998,
- UU No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah,
- UU No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.
Pasal 33 UUD 1945 yang memberikan pesan dan amanat kebijakan (political messages) mengenai format perekonomian nasional (disusun sebagai usaha bersama diantara semua aktor ekonomi) berdasarkan asas kekeluargaan (brotherhood, bukan family relationship), buKan gronyisme juga amanat supaya kekayaan alam tanah air ini dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (bukan secara oligarkis dan kroniisme), Bahkan supaya fakir miskin dan yatim piatu sebagai kaum lemah beserta kaum-kaum lemah lainnya, terutama dalam hal kehidupan sehari-hari. Juga dalam hukum pemerintahan dan kesempatan kerja dan berusaha, ternyata tidak konsekwen dan konsisten dijadikan sebagai acuan dan referensi konsitusional dalam praktek, kecuali lebih banyak retorika politis lewat GBHN.
Pada hakekatnya, deviasi dan penyimpangan konstitusional yang terjadi selama inilah yang harus dilempangkan supaya kembali ke koridor semestinya. Maka kasus Indonesia ini sebenarnya, ialah satu upaya besar rekonstitusionalisasi dalam rangka mencari format konsititusionalisme yang baru bagi bangsa ini. Menurut hemat dan prediksi saya selama masalah dan kepentingan yang standar dan prinsipal ini belum terpecahkan dan terselesaikan, maka sistem politik dan sistem perekonomian berikut sistem dan sub-sub sistem lainnya tidak akan kunjung mendapat format dan profilnya yang baru yang dinilai memenuhi keinginan masyarakat banyak dan luas.
Dasar hukum untuk kewenangan daerah (Kabupaten dan Kota) mengenai “Pertanahan” ialah pada pasal ii UU No. 22 tahun 1999. Pasal 11 ayat (2) : Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industeri, dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Dalam penjelasan resmi pasal 1 ayat (2) ini dikatakan : Tanpa mengurangi arti dan pentingnya prakarsa daerah dalam penyelenggaraan melaksanakan kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu menurut pasal ini, sesuai dengan kondisi Daerah masing-masing, dan merupakan kewenangan yang
wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak dapat dialihkan Daerah Propinsi.

UPAYA MENYUSUN HUKUM EKONOMI INDONESIA PASCA TAHUN 2003

UPAYA MENYUSUN HUKUM EKONOMI INDONESIA
PASCA TAHUN 2003
Oleh :
PROF. DR. C.F.G SUNARYATI HARTONO, S.H.

Dalam teori hukum, istilah “Hukum Ekonomi” merupakan terjemahan dari Economisch Recht (Belanda) atau Economic Law (Amerika). Sekalipun demikian, pengertian atau konotasi Economisch Recht di Belanda ternyata berbeda dengan arti Economic Law di Amerika Serikat.


peraturan hukum hanya merupakan salah satu unsu saja dari keseluruhan sistem hukum, yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur sebagai berikut :
a. asas-asas hukum (filsafah hukum)
b. peraturan atau norma hukum, yang terdiri dari :
1. Undang-undang
2. peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang
3. yurisprudensi tetap (case law)
4. hukum kebiasaan
5. konvensi-konvensi internasional
6. asas-asas hukum internasional
c. sumber daya manusia yang profesional, bertanggung jawab dan sadar hukum
d. pranata-pranata hukum
e. lembaga-lembaga hukum termasuk :
1. struktur organisasinya
2. kewenangannya
3. proses dan prosedur
4. mekanisme kerja
f. sarana dan prasarana hukum, seperti ;
1. furnitur dan lain-lain alat perkantoran, termasuk komputer dan sistem manajemen perkantoran
2. senjata dan lain-lain peralatan (terutama untuk polisi)
3. kendaraan
4. gaji
5. kesejahteraan pegawai/karyawan
6. anggaran pembangunan, dan lain-lain
g. budaya hukum, yang tercermin oleh perilaku para pejabat (eksekutif, legislatif maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat (termasuk pers), yang di Indonesia cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan tercela.

Maka sistem hukum terbentuk oleh sistem interaksi antara ketujuh unsur di atas itu, sehingga apabila salah satu unsurnya saja tidak memenuhi syarat, tentu seluruh sistem hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Atau apabila salah satu unsurnya berubah, maka seluruh sistem dan unsur-unsur lain juga harus berubah. Dengan kata lain : perubahan undang-undang saja tidak akan membawa perbaikan, apabila tidak disertai oleh perubahan yang searah di dalam bidang peradilan, rekruitmen dan pendidikan umum, reorganisasi birokrasi, penyelarasan proses dan mekanisme kerja, modernisasi segala sarana dan prasarana serta pengembangan budaya dan perilaku hukum masyarakat yang mengakui hukum sebagai sesuatu yang sangat diperlukan bagi pergaulan dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang damai, tertib dan sejahtera.
Aspek Hukum Ekonomi yang lain, yang tentu juga harus diprioritaskan adalah pengaturan berbagai lbentuk usaha (korporasi) pelaku ekonomi di samping berbagai kontrak, termasuk berbagai hibridanya yang sekarang sudah dikembangkan, untuk menjaga kepastian hukum, kebenaran dan keadilan bagi semua pihak yarlg terlibat dalan proses perekonomian dalam dan luar negeri. Juga tidak boleh dilupakan penelitian-penelitian dan pembahasan berbagai aspek
Hukum Ekonomi lnternasional dan Regional yang mempengaruhi perekonomian Indonesia, baik secara positif, tapi lebih sering lagi secara negatif, seperti antara lain aspek-aspek hukum dari Letters of Intent dengan IMF, World Bank, dan lain-lain perjanjian internasional seperti GATT-WTO, AFTA, ASAF dan lain sebagainya. Tampaklah bahwa tidak hanya bidang Ekonomi harus ditangani secara konseptual, sistemik dan profesional, tetapi bidang Hukum Ekonomi pun mau tidak mau juga harus dipelajari, ditekuni, dibahas dan dikembangkan secara konseptual, sistemik dan profesional, sejalan, searah dan sederap dengan kebijaksanaan dan
pengambilan keputusan di bidang ekonomi.

PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA

PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA

Oleh : Marsivem

Dosen Fakultas Hukum UNISSULA Semarang

Hukum pcrsaingan usaha pada dasamya merupakan sengketa perdata. Penegakan hukum persaingan antar pelaku usaha dapat dilakukan oleh pelaku usaha sendiri, apabila masalah tersebut tidak terdapat unsur-unsur publiknya. Pencgakan hukum oleh pelaku usaha akan memenuhi berbagai hambatan apabila tidak ada kesukarelaan untuk melaksanakan putusan dari pihak yang dikalahkan. Hal ini karena sebuah asosiasi tidak berwenang untuk rnelakukan penyitaan ataupun menjatuhkan sanksi yang bersifat publik.

lembaga yang diberi wewenang oleh negara untuk melakukan penegakan hukum persaingan diatur secara berbeda dengan tindak pikdana pada umumnya, yang berdasarkan ketentuan UU No 5 Tahun 1999 yaitu Komisi Pengawas P&aingan Usaha (KPPU) yang selanjurnya disingkat Komisi Pengawas (Bab VI UU No. 5 Tahun 1999).

Sebenanlya dalam penegakan hukum persaingan dapat dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Penegakan merupakan tempat penyelesaian perkara yang resmi dibentuk oleh negara. namun untuk hukum persaingan, pada tingkat pertama penyelesaian sengketa antar pelaku usaha tidak dilakukan oleh pengadilan. Alasan yang &pat dikemukakan adalah karena hukum persaingan membutuhkan functionaries specialitic yang memiliki latar belakang dan mengerti betul tentang seluk beluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar. Lembaga yang melakukan penegakan hukum persaingan harus beranggotakan orang-orang yang tidak saja berlatar belakang hukum, tetapi juga ekonomi dan bisnis. Hal ini mengingat masalah persaingan usaha sangat terkait erat dengan ekonomi dan bisnis. Alasan lain mengapa diperlukan lembaga secara khusus menyelesaikan kasus praktek monopoli dan persaingan tidak sehat dianggap sebagai suatu altematif penyelesaian sengketa (Alternative dispute resolution) sepanjang pengertian alternatif disini adalah diluar pengadilan. Di Indonesia lembaga yang den~ikian,y ang sering kali dianggap sebagai kuasi yudikatif sudah lama dikenal sebagai contoh, sengketa antara buruh dengan pengusaha diselesaikan melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Sengketa Pajak diselesaikan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Bahkan dalam masalah pelayaran tcrdapat lcmbnga yang disebut sebagai Mahkamah Pelayaran. Adapun fungsi Pcngadilan adalah tempat untuk dilakukannya banding apabila ada kehcratan atau ketidakpuasan terdapat putusan yang diberikan oleh kuasi yudikatif ini.

Dasar hukum pembentukan Komisi Pengawas adalah Pasal 30 ayat

yang menyatakan "Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Khusus kepada suatu Komisi untuk melaksanakan suatu peraturan di bidang persaingan merupakan ha1 yang lazim dilakukan oleh kebanyakan Negara. Status Komisi diatur dalam Pasal 30 ayat (2) dalarn ayat (3j disebutkan bahwa "Komisi bertanggung

iawab kevada Presiden".

Ø Secara singkat KPPU seperti yang dijelaskan di atas mempunyai tugas-tugas

sebagai berikut:

a) Melakukan penilaian terhadap kontrak-kontrak yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan/atau persaingan curang.

b) Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha danlatau tindakan pelaku usaha yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan curang.

c) Melakukan penilaian terhadap penyalahgunaan posisi dominm yang ' dapat menimbulkan monopoli dan persaingan curang.

d) Mengambil tindakan yang sesuai dengan wewenang Komisi Persaingan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Anti Monopoli.

e) memberikan saran dan rekomendasi terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan persaingan curang.

f) Menyusun pedoman dan publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang Anti Monopoli.

g) Mengajukan laporan berkala atas hasil kerja Komisi Persaingan kepada Presiden RI dan DPR

Ø Secara singkat, wewenang dari Komisi Pengawas adalah sebagai berikut :

a) Menampung laporan dari masyarakat danlatau dari pelaku usaha tentang dugaan telah terjadinya p~aktekm onopoli danlatau persaingan curang.

b) Melakukan penelitian mengenai dugaan adanya kegiatan usaha atau tindakan pelaku usaha yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan curang.

c) Melakukan penyelidikan danlatau pemeriksaan terhadap kasus-kasus dugaan praktek monopoli danlatau persaingan curang yang didapatkan karena laporan masyarakat, laporan pelaku usaha diketemukan sendiri oleh Komisi Pcngawas dari hasil penelitiannya.

d) Mclakukan pemanggilan terhadap pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Anti Monopoli.

e) Mclakukan pemanggilan dan mcnghadirkan saksi-saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap n~cngtahui pelanggaran terhadap ketentuan UndangUndang Anti Monopoli.

f) Meminta bantuan penyelidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi-saksi, saksi ahli atau pihak lainnya yang tidak bersedia memenuhi penggilan Komisi Pengawas.

g) Menindak eterangan dari instansi pen~erintahd alam kaitannfa dengan penyelidikan danlatau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Anti Monopoli.

h) Mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan.

i) Memberikan keputusan atau ketetapan tentang ada atau tidaknya kerugian bagi pelaku usaha lain atau masyarakat.

j) Menginformasikan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan curang.

k) Memberikan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan dalam Undang-undang Anti Monopoli

LEMBAGA KEAGENAN

LEMBAGA KEAGENAN

(UPAYA MENATA PERANTARA DAGANG SECARA PROFESIONAL)

Oleh : Peni Linda Listyawati

Dosen Fakultas Hukum Unissula Semarang

Agen dalam kegiatan bisnis biasanya merupakan suatu hubungan hukum dimana seseorang / pihak agen diberi kuasa untuk dan atas nama orang / pihak principal untuk melakukan transaksi bisnis pada pihak lain.

Dalam AGEN terdapat 3 pihak, diantarranya :

1. Yang memberi perintah / kuasa untuk melakukan kegiatan hukum disebut principal.

2. Yang diberi perintah / diberi kuasa untuk melakukan kegiatan hukum disebut agen.

3. Yang dihubungi agen dengan siapa transaksi diselenggarakan disebut pihak ketiga.

Kesimpulan :

Ø Didalam kegiatan perdagangan modern diperlukan seorang perantara untuk memasarkan produknya. Salah satu perantara tersebut adalah agen.

Ø Kegiatan usaha keagenan timbul dalam praktek berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang dijamin oleh KUHPerdata, sehingga kettentuan umum perjanjian dapat dilakukan terhadap perjanjian keagenan.

Ø Pemerintah perlu campur tangan terhadap usaha keagenan ini yaitu mengeluarkan peraturan-peraturan yang tujuannya memberikan perlindungan bagi pengusaha nasional, terutama agen yang mempunyai principal diluar negeri.

Ø Mengingat agen sangat penting terhadap dunia perdagangan, perlu adanya ketentuan ketentuan tersendiri yang sejelas-jelasnya yang mengatur mengenai perjanjian keagenan.

KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK)

KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK)

FENOMENA GLOBAL: Suatu Kajian Aspek Hukum

Hasim Purba

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang merupakan modus baru negara-negara maju menanamkan dominasinya dinegara-negara berkembang dan negara terbelakang. Di Indonesia, (KEKI/Special Economic Zone/KEK) sebenarnya merupakan proses metamorfosa dari beberapa bentuk kegiatan ekonomi dalam rangka menarik investasi asing seperti Free Trade Zone (kawasan perdagangan bebas), Posisi geografis yang strategis tersebut menjadikan Indonesia sangat sulit menghindar dari interaksi masyarakat Internasional dalam lingkup global. Kondisi geografis Indonesia yang sangat strategis serta dukungan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, membuat wilayah Indonesia selalu menjadi pusat perhatian dunia Internasional. Perkembangan kehidupan global yang ditandai dengan timbulnya berbagai kelompok/blok kekuatan kerjasama ekonomi seperti GATT/WTO, Kerjasama Ekonomi Asia Fasifik (APEC), NAFTA (Persetujuan Perdagangan Bebas Amerika Utara), AFTA menuntut berbagai negara termasuk Indonesia untuk dapat bergabung dan bekerjasama dengan Negara Negara lain yang tergabung dalam organisasi tersebut. Untuk ruang lingkup yang regional misalnya Indonesia bergabung dalam kerjasama segitiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Thailad yang dikenal dengan singkatan IMT-GT. Liberalisasi perdagangan yang akan dikembangkan sebagai salah satu gagasan yang dilontarkan dalam forum APEC itu, akanmenyatukan berbagai dimensi strategis, tidak hanya segi yuridis dan politis, tetapi juga menuntut perhatian dan perhitungan strategis secara ideal, filosofis, berkonotasi kepentingan dan ketahanan Nasional. (Lubis, 1996: 87)

Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan fenomena global yang

sulit kita hindari, karena KEK merupakan salah satu bentuk baru kerjasama Internasional

dalam bidang perdagangan sebagai konsekwensi masuknya Indonesia menjadi anggota berbagai organisasi perjanjian perdagangan Internasional baik GATT/WTO, APEC, AFTA

maupun IMT-GT. Kerjasama KEK saat ini merupakan perkembangan mutakhir dari berbagai

bentuk kerjasama ekonomi sebelumnya.

Di samping kita menelaah KEK sebagai peluang, tentunya program KEK jugamengandung berbagai kelemahan yang dapat menjadi ancaman bagi negara penerima KEK termasuk seperti Indonesia. Berbagai aspek yang rentan berbenturan dengan program KEK perlu mendapat perhatian serius, seperti aspek hukum, aspek sosial budaya, aspek politik termasuk aspek pertahanan dan keamanan, jadi dengan demikian masalah KEK tidak tepat apabila kita hanya tinjau dari perspektif keuntungan ekonomi belaka, tapi berbagai aspek tersebut di atas juga harus mendapat telaahan secara proporsional.

Program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai fenomena global sulit untuk

dihempang, karena dalam program KEK terdapat dua pihak yang sebenarnya saling membutuhkan. Negara-negara maju sangat berkepentingan untuk mengembangkan jangkauan

kegiatan perekonomiannya baik yang dilakukan secara Goverment to Goverment (G to G)

maupun yang dilakukan oleh perusahaan Transnasional sebagai investor; sementara dipihak

negara-negara berkembang atau negara-negara terbelakang pada umumnya membutuhkan

dukungan investasi asing dalam mengolah sumber daya alam yang ada dinegerinya guna

mengembangkan perekonomian negara yang bersangkutan. Namun dalam pelaksanaannya hubungan kerjasama penanaman investasi asing mengalami ketimpangan dalam pembagian keuntungan, di mana porsi keuntungan biasanya jauh lebih besar bagi negara investor, sehingga negara penerima investasi hanya memperoleh bagian yang sangat minimum; hal ini juga dikhawatirkan dalam praktek KEK yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu pemerintah Indonesia harus mampu memperjuangkan posisi tawar kita, sehingga dalam pelaksanaan KEK, Indonesia juga memperoleh manfaat keuntungan yang signifikan dan proporsional, di samping itu Indonesia juga harus terhindar dari sapi perahan negara maju/investor asing dalam program KEK tersebut.